Senin, 07 April 2014

Melepas Kebahagiaan

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada tidur dibalut selimut yang hangat ketika hujan turun pada malam saat musim hujan. Setelah seharian beraktivitas dan lari dari hujan, rumah memang tempat yang paling aman dan nyaman. Begitu pikir Marville sambil menatap hujan yang turun deras dari sela-sela gubuk barunya.

Air hujan masuk lewat jendela dan atap-atap, sesekali suara halilintar menambah kepanikan dengan getarannya yang membahana. Dengan beralaskan tikar dan kain seadanya, Marville mencoba tidur sambil sesekali mengganti posisi payungnya.

Hujan malam ini mengingatkan Marville pada kejadian 27 tahun yang lalu, saat dia melihat orangtuanya tergeletak tanpa nyawa setelah jatuh dari motor yang tengah melaju kencang di tengah hujan. Saat itu, mereka tengah mengungsi dari banjir yang menggenangi rumah mereka dan Marville sedang sakit. Saat terjatuh, ibu Marville menggunakan tubuhnya sebagai bantalan untuk melindungi Marville dan kepalanya terbentur di tepi jalan dengan kerasnya.

Kedua orangtua Marville segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun takdir berkata lain. Mereka meninggalkan Marville yang saat itu masih berusia lima tahun.

Ingatan tersebut membuatnya merindukan ayah dan ibunya. Dia menangis sambil menatap ke arah hujan. Sekilas, semua kenangan bersama orangtuanya terlintas di benaknya.

Dia ingat saat ayahnya memanjakannya, saat ibunya menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Dia ingat saat ayahnya memukul dia dan memarahinya karena sering mengganggu ibu yang sedang tidur kelelahan setelah seharian berjualan kue dengan mengelilingi perumahan-perumahan sekitar.

Bagi Marville, ayahnya adalah guru sekaligus ayah yang hebat. Di sekolah, ayahnya selalu mendidik muridnya menjadi bertanggungjawab dan pintar. Di rumah, dia selalu meluangkan waktu untuk Marville dan ibunya.

Setelah orangtuanya meninggal, Marville diasuh oleh pamannya. Selama 15 tahun Marville bertahan di sana dan bekerja seperti layaknya pembantu di keluarga tersebut. Semua orang yang melihat, pasti tahu dengan jelas bahwa Marville sangat dianaktirikan di sana.

Selama 15 tahun, Marville bertahan hidup dibawah hinaan dan cacian. Namun hal tersebut justru membangkitkan semangat Marville untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan belajar lebih rajin.

Semua usaha Marville tidak sia-sia. Di usianya yang ke 27, Marville menyicil sebuah rumah dengan hasil kerja sampingannya. Selama puluhan tahun, Marville berjuang dan menutup hatinya untuk wanita.

Pikirannya hanya terfokus pada kerja dan belajar. Untuk anak seusianya, dia tidak pernah menikmati fasilitas seperti yang dimiliki oleh anak-anak lainnya.

Untuk kuliah saja, dia harus bekerja keras selama beberapa tahun. Dia tidak pernah mengharapkan bantuan dari siapa pun, termasuk dari pamannya sendiri. Setelah menyicil rumahnya sendiri, Marville keluar dari keluarga pamannya dan mulai kuliah.

Pada saat kuliah, tepatnya di semester ke enam, Marville bertemu dengan Rika. Kebetulan saat itu Marville harus mengulang satu mata kuliah dan secara tidak sengaja bertemu dengan rika, Juniornya yang juga mengambil mata kuliah yang sama.

Dalam waktu singkat, Marville dan Rika semakin akrab. Marville kenal semua teman-teman Rika dan sebaliknya. Marville tahu bahwa dia sedang jatuh cinta, namun dia tidak tahu bagaimana cara untuk mengungkapkannya pada Rika.

Setelah membaca beberapa majalah, Marville menemukan satu cara yang menurutnya bisa dia gunakan. Menurut majalah tersebut, cara untuk mendekati seorang wanita adalah dengan mencari tahu tentang dirinya dari teman terdekatnya.

Marville mencoba cara tersebut tanpa pikir panjang. Dia mendekati Rahel, teman baik Rika dari SD. Marville berusaha sealami mungkin mencari tahu tentang Rika melalui Rahel––teman Rika yang polos dan sama seperti Marville, sulit membuka hatinya untuk lawan jenis.

Menurut informasi yang didapatkan oleh Marville, Rahel adalah wanita yang terkesan galak dan kurang ramah pada orang baru. Marville yang mendengar hal tersebut, memutuskan untuk mendekati Rahel perlahan, karena hanya Rahel satu-satunya teman baik Rika.

Sungguh diluar dugaan, rencana yang semula dianggap sulit, malah berjalan lancar, terlalu lancar. Rahel jatuh cinta pada Marville dan menceritakannya pada Rika.

Persahabatan seorang wanita memang membingungkan. Tanpa banyak kata-kata, Rika menjauh dari Marville. Marville yang merasa sikap Rika berubah, mengajak Rika untuk bicara dan bertanya padanya alasan Rika menjauhinya.

Rika mengatakan bahwa dia tidak sedang menjauhi atau menghindar dari Marville. Tidak lama setelah kejadian tersebut, Rika berjalan dengan seorang pria. Dia mengenalkannya kepada Marville dan Rahel sebagai pacarnya.
Bagi Marville, kabar tersebut adalah pukulan yang berat. Namun kejadian tersebut malah membuat Rahel dan Marville jadi semakin dekat. Setiap kali ada kesempatan dan mereka keluar bersama, Rika akan menjodohkan Marville dengan Rahel.

Marville yang tengah kecewa, merasa harapannya pupus, seolah menerima keadaan, Marville membiarkan Rahel mendekat dan mereka memutuskan untuk pacaran. Bagi Marville, mungkin Rahel adalah sebuah bentuk pelarian dari sebuah harapan yang hilang tepat di depan matanya.

Semua berjalan baik selama tiga tahun, perlahan Marville mulai bisa melupakan Rika dan menerima Rahel. Marville mulai terbiasa dengan Rahel yang memang cukup pengertian dan baik. Rika tidak lebih dari kisah masa lalu dalam hubungan mereka.

Marville sudah menduduki posisi Manager di sebuah perusahaan swasta berkat pengalaman dan ketekunannya. Sedang Rahel juga sudah lulus dan bekerja sebagai guru––pekerjaan yang diimpi-impikannya dari kecil.

Semua telah sibuk dengan urusan dan pekerjaannya masing-masing. Sudah setahun, Rika tidak lagi terlihat. Marville mulai menjalani hari-harinya dengan penuh semangat dengan dukungan dari Rahel. Mereka melibatkan diri dalam kegiatan sosial, terutama di tempat kumuh dekat perusahaan tempat Marville bekerja yang kondisinya memang sangat memprihatinkan. Seringkali Marville menyisihkan uangnya untuk membeli makanan demi mereka.

Marville dan Rahel berencana untuk menikah tahun depan, saat Rahel berusia 27 tahun dan Marville berusia 34 Tahun. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Paman dan bibi Marville pun sudah bersedia menjadi pengganti yang mewakilkan orangtua Marville.

Beberapa hari sebelum natal tiba, hal yang tidak terduga terjadi. Malam itu, seperti biasanya, Marville pulang ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Dia melihat seorang wanita menunggu di depan pintu rumahnya.

Melihat Marville pulang, wanita tersebut segera menghampiri Marville. Orang yang selama ini telah menghilang dalam hidup Marville, kini berdiri tepat di hadapannya dan menanyakan kabar. Marville benar-benar tidak menyangka bahwa Rika akan menghampirinya.

Bingung bercampur senang membuat Marville terdiam sejenak dan kemudian mempersilahkan Rika untuk masuk.
Di dalam ruangan dengan sinar yang cukup, wajah Rika terlihat pucat. Marville bertanya pada Rika mengenai kedatangannya dan mengapa mukanya pucat. Rika hanya terduduk dan menangis. Berada dalam kondisi seperti itu, Marville tidak melanjutkan pertanyaannya dan mengambilkan Rika segelas air hangat.

Setelah minum dan menenangkan diri, Rika menceritakan kondisinya dan alasan mengapa dia datang menemui Marville. Dia ingin meminta Marville menemaninya untuk melakukan aborsi. Marville terkejut.

Marville meminta Rika untuk membatalkan niatnya tersebut, namun Rika merasa dia tidak punya pilihan lain karena jika dia tidak melakukannya, maka dia akan mempermalukan orangtuanya yang memang punya posisi penting di pemerintahan.

Dia juga tidak punya teman atau kerabat yang dia percayai untuk menceritakan hal tersebut. Saat itu, Marville berkata bahwa Marville akan membantu Rika. Marville meyakinkan Rika, bahwa dia akan memberikan pengertian kepada Rahel. Marville meminta Rika untuk melahirkan anak tersebut. Setelah anak tersebut lahir, maka Marville dan Rahel akan mengadopsi anak tersebut menjadi seperti anaknya sendiri.

Malam berikutnya, Marville menyampaikan rencana dadakannya tersebut kepada Rahel dan menjelaskan kondisi Rika. Rahel menyetujui rencana Marville. Mereka pun bertemu dengan Rika dan berjanji akan membantu Rika sampai bayi tersebut lahir.

Mereka memutuskan untuk membiarkan Rika tinggal bersama Marville. Agar kapan pun dibutuhkan, Marville bisa membantu Rika. Rika mengucapkan terimakasih pada Rahel dan Marville dengan penuh haru dan tangis.
Dia menangis karena telah membohongi orangtuanya bahwa dia mendapat tugas dinas ke luar negeri dan karena dia punya teman-teman yang begitu peduli padanya.

Selama beberapa lama, Marville dan Rika tinggal bersama, banyak hal yang terjadi. Banyak kenangan masa lalu yang terngiang dan banyak hal yang tidak seharusnya mereka ketahui, mereka ketahui. Perlahan perasaan yang telah terkubur di masa lalu muncul kembali.

Seolah melanjutkan cinta yang tertunda, mereka terbuai dalam asmara. Perhatian Marville ke Rahel mulai berkurang, namun Rahel tetap berpikir positif dan berusaha memaklumi keadaan sahabatnya dan calon suaminya sampai satu saat, ketika Rahel melihat mereka berpelukan.

Rahel marah, dia menangis, berteriak dan bertanya pada mereka tentang hubungan mereka. Marville berusaha membujuk dan menjelaskan semuanya pada Rahel, sedang Rika hanya bisa diam.

Rahel yang tidak bisa terima dengan apa yang baru saja dilihatnya memutuskan untuk pergi menjauh. Dia membawa mobil sekencang-kencangnya ditengah hujan tahun baru yang cukup deras waktu itu.

Sejam atau dua jam setelah Rahel pergi, telepon genggam Marville berdering. Marville mendapatkan kabar bahwa Rahel kecelakaan. Marville segera menuju ke rumah sakit dan meminta Rika menunggu tanpa memberitahu Rika mengenai kecelakaan yang dialami oleh Rahel.

Rika yang diliputi rasa bersalah pada Marville dan Rahel, malam itu meninggalkan rumah Marville tanpa sepengetahuannya. Dia hanya meninggalkan sebuah surat, “terimakasih dan maaf”.

Kecelakaan yang dialami Rahel cukup fatal. Dia tidak dapat bergerak. Kabar baiknya, dia masih hidup dan masih tertolong. Hanya saja, dia mungkin akan kehilangan ingatannya karena benturan keras.

Rahel koma selama beberapa bulan. Biaya obat dan rawat inap di rumah sakit cukup mahal. Orangtua Rahel memang bukan orang yang berada, sehingga sulit bagi mereka untuk menanggung biaya pengobatan putri mereka. Sedang Marville, dengan segala usahanya berusaha membayar biaya rumah sakit. Menggunakan gaji, biaya pernikahan, bahkan menjual rumah yang dibelinya dan tinggal di perumahan kumuh dekat kantornya.
Saat itu, dia menggenggam tangan Rahel. Pertama kalinya dia merasa Rahel begitu berharga.

Penantian selama beberapa bulan akhirnya selesai setelah Rahel membuka matanya. Rahel melihat Marville dan bertanya padanya tentang siapa dia. Rahel tidak ingat pada Marville. Marville menangis. Dia merasa tidak percaya dengan semua ini.

Marville senang sekaligus sedih pada waktu yang bersamaan. Dia tahu bahwa ini adalah hukuman dari Tuhan untuk dirinya. Setelah kehilangan Rika, dia harus kehilangan Rahel.

Marville terus berusaha dan berjuang untuk menebus kesalahannya pada Rahel. Marville berusaha keras untuk membuat Rahel kembali mencintainya. Namun sekeras apa pun usaha Marville, Rahel tetap saja merasa terganggu dengan kehadiran Marville. Marville hanya bisa terus bersabar dan berusaha.

Setelah pulih dan Rahel dapat kembali beraktivitas dan bekerja, dia menemukan seorang pria yang membuatnya jatuh cinta. Dia meminta Marville untuk tidak mengganggunya lagi.

Hari itu, Marville tahu bahwa Rahel telah menemukan kebahagiaan barunya. Dia tersenyum dan mengucapkan ‘selamat berbahagia’, serta ‘selamat tinggal’.

Marville mengunjungi makam kedua orangtuanya dan menceritakan apa yang baru dia alami. Sambil memeluk nisan dan menangis, dia berkata “Berat rasanya meninggalkan orang yang kita cintai, tapi lebih berat lagi melihat orang yang kita cintai tidak bahagia bersama kita. Sekarang aku mengerti betapa berharganya cinta yang telah hilang” 

Penulis: Hong Kosan Djojo
email: akaryukiseki@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar